Kamis, 05 Juni 2008

Bupati Simon Hayon Irasional dan Provokatif

Larantuka, DEMOS NTT Online - Para tokoh masyarakat Larantuka dan tokoh umat dari 4 paroki di Larantuka mengecam keras pernyataan politik yang disampaikan Bupati Simon Hayon belakangan ini di berbagai kesempatan di desa-desa yang dinilai tidak rasional dan mengarah pada tindakan provokasi.
Para tokoh tersebut Sabtu (31/5) lalu berkumpul dan berdiskusi di aula kantor Paroki San Juan – Lebao. Mereka antara lain membahas sambutan yang dibuat Bupati Simon Hayon saat melantik Kades Kobasoma, Kecamatan Titehana yang dinilai sangat tidak rasional dan memutarbalikan kepercayaan masyarakat dan umat serta dapat membingungkan generasi muda Flores Timur yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah.
Diskusi diprakarsai Kelompok Pemerhati Masalah Sosial, yang dikoordinir Cypri Lamury. Hadir pada kesempatan itu sedikitnya 28 tokoh masyarakat dan tokoh umat dari 4 paroki, Paroki Bunda Pembantu Abadi – Weri, Paroki San Juan – Lebao, Paroki Kathedral Reinha Rosari Larantuka dan Paroki St. Ignatius – Waibalun juga 4 rohaniawan Katolik, Pro Vikjen Keuskupan Larantuka, Rm. Gabriel Unto da Silva,Pr., Romo Yoseph Sani Teluma,Pr, Romo Yohanes Sasi,Pr dan Romo Leo Lewoklore,Pr.
Para tokoh masyarakat yang hadir pada diskusi itu antara lain mantan Ketua DPRD Lembata, Philipus Riberu, mantan Wakil Ketua DPRD Flores Timur, Arnoldus Wio Harut dan Lambertus Tulen Hadjon dan Ignas Teluma.
Selain mengecam sikap Bupati Simon Hayon, para tokoh itu juga menuding kalangan pers di Larantuka tidak memiliki kepekaan social untuk mengadang perkembangan sikap Bupati Simon Hayon yang mereka sebut telah mengarah para proses penyesatan iman umat dan keyakinan warga atas hal-hal yang berkiatan dengan ajaran agama. Romo Yan Sasi,Pr malah menuding pers di Larantuka telah dibeli untuk mengamankan kepentingan Bupati Simon Hayon.
Sementara tomas, Phlipus Riberu menyesalkan proses pencarian dan penelusuran terhadap asal-usul sebuah suku, kampong serta seluruh tradisi budaya yang melekat di dalamnya yang dilakukan oleh Bupati Simon Hayon. Langkah itu katanya, bisa menimbulkan perpecahan baik di kalangan suku itu sendiri juga bisa melibatkan suku lain.
“Masa sih, Nusantara yang kita tahu selama ini berasal dari dua suku kata, Nusa dan Antara, sekarang oleh Simon Hayon dikatakan berasal dari 3 suku kata, Nuh, San dan Tara? Ini bisa menyesatkan intelektual generasi muda kita, apalagi pernyataan itu tidak memiliki pendasaran secara ilmiah.”
Dari sejumlah pemikiran dan informasi yang disampaikan dalam diskusi terbatas itu, para tokoh yang hadir dalam diskusi itu sepakat bahwa kelatahan yang disampaikan Bupati Simon Hayon dalam mengungkapkan ilusi dan pengalaman mistik pribadinya serta pemikirannya yang irasional harus segera dihentikan dan diakhiri.
Karena menurut mereka, apa yang terjadi dewasa ini adalah upaya pemaksaan kehendak yang sistematis dengan mengabaikan dialog yang cerdas bahkan sudah melibatkan alat Negara dalam hal ini militer untuk memberi tekanan psikologis kepada warga.
Selain itu, para tokoh itu juga sepakat untuk meminta penjelasan resmi pemerintah menyangkut sumber dana yang digunakan untuk membeli 3 ekor sapi dan 1 ekor kerbau untuk kepentingan pelaksanaan upacara adat di Desa Nobo ,Kecamatan Ile Boleng beberapa waktu yang lalu.
“Dia boleh mengklaim sebagai penguasa bumi, tetapi uang yang ada di APBD itu adalah uang rakyat, bukan uang miliknya pribadi. Jadi pemerintah harus jelaskan itu secara transparan dari mana sumber uang untuk beli sapi dan kerbau itu.” (laporan Peren Lamanepa/NTT Online)

Tidak ada komentar: