Kamis, 10 April 2008

BPK Perlu Audit Keuangan Calon Kepala Daerah

Kupang, Demos NTT Online - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) perlu melakukan audit terhadap keuangan para pejabat di daerah yang menjadi calon kepala daerah untuk mencegah penyimpangan penggunaan keuangan negara saat menjalankan tugas pemerintahan dengan memboncengi kegiatan-kegiatan politik partai.
Demikian dikemukakan pengamat politik, DR Chris Boro Tokan SH.MH di Kupang, Rabu, berkaitan dengan peringatan Indonesian Coruption Watch (ICW) kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar dalam memberikan izin kepada para menteri untuk berkampanye pada pemilu legislatif harus ada batas-batasnya agar tidak merugikan keuangan negara.
Peringatan ICW tersebut, kata Boro Tokan yang juga dosen hukum dan perubahan sosial program pasca sarjana Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, cukup relevan dengan proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang melibatkan pejabat negara di daerah sebagai calon kepala daerah.
Dalam hubungan dengan tugas-tugas negara, kata dia, para elit politik di daerah yang menjadi calon dalam proses pilkada tidak dapat terhindarkan memboncengi kegiatan-kegiatan politik partai dengan kegiatan pemerintahan yang tentunya menggunakan keuangan negara.
“Ini indikasi kuat terjadinya KKN. Karena itu, BPK perlu mengaudit setiap biaya perjalanan kaum elit politik dalam posisinya sebagai pejabat negara dalam melakukan tugas-tugas pelayanan publik yang serentak pula dengan kegiatan jika menjadi calon kepala daerah dalam proses pilkada.
Boro Tokan yang juga mantan Sekjen Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) periode 1985-1998 ini menambahkan, dalam revisi terbatas UU No.32 tahun 2004 telah berusaha meminimalisir kerugian negara, melalui pelepasan jabatan sebagai kepala daerah pada saat mendaftar paket calon di KPUD.
Hanya, yang menjadi persoalan di sini, ujarnya, sebelum mendaftar di KPUD, pejabat yang bersangkutan dalam kapasitas sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah serta sebagai pimpinan dewan melakukan kegiatan politik sosialisasi diri sebagai calon dengan menyatukan kegiatan politik partai dalam tugas-tugas pemerintahan.
“Ini tindakan memanipulasi kegiatan pelayanan umum dalam tugas-tugas pemerintahan dengan kegiatan politik partai karena posisinya sebagai pejabat negara. Posisi mereka sulit untuk dibedakan, apakah sebagai pejabat negara atau pimpinan partai,” katanya.
Di sini lain, menurutnya, juga menjerumuskan oknum PNS yang turut serta dalam rombongan untuk terlibat langsung dalam kegiatan politik praktis dengan mempertontonkan paradoks pendidikan politik kepada masyarakat.
Paradoks pendidikan politik tersebut, lanjutnya, adalah pertentangan antara kegiatan politik praktis partai dengan kegiatan pelayanan pemerintahan, para PNS yang dilarang berpolitik praktis tetapi kenyataannya tampil dalam simbol PNS bersama pejabat negara yang juga elite partai melakukan kegiatan-kegiatan politik praktis.
Ia menambahkan, paradoks politik ini sedang terjadi di daerah-daerah yang tengah dalam proses pilkada sehingga menimbulkan semacam ketidakadilan politik yang dirasakan masyarakat bagi calon-calon atau kandidat yang lain dalam posisinya tidak sebagai pejabat negara.
Oleh karena itu, apabila ada kecurangan dalam proses pilkada yang dilakukan oleh KPUD, terindikasi mendukung dan memenangkan calon-calon ‘paradoks politik’ walau sering mengundang protes dan demonstrasi publik, katanya.
Demi keadilan politik, pertimbangan efisiensi dan efektifitas, kata Boro Tokan, sebaiknya proses pilkada yang sedang terjadi di daerah-daerah di seluruh Indonesia, termasuk juga di Nusa Tenggara Timur (NTT), sebaiknya diundur ke bulan Oktober seperti wacana yang sedang berkembang saat ini.Menurut dia, hal ini untuk membuktikan kejujuran nurani DPR dan Presiden SBY dalam menghormati aspirasi rakyat melalui revisi terbatas UU No.32/2004 yang telah ditetapkan dalam sidang paripurna DPR-RI pada 1 April 2008, apalagi KPU juga masih menunggu revisi PP No.6 Tahun 2005 dari Menteri Dalam Negeri. (dikutip dari NTT Online 9/4/2008 )

Tidak ada komentar: