Rabu, 09 April 2008

DR. Frans Rengka, SH, MH: Saya tidak Yakin Medah Mampu Berantas Korupsi

Penyidikan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan kapal ikan di Kabupaten Kupang tahun 2002 penuh kontroversi. Bupati Ibrahim Agustinus Medah yang belum diperiksa sempat ditetapkan sebagai tersangka. Uniknya, penyidik polisi kemudian menghentikan penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti. Maka, Medah pun melaju jadi calon Gubernur NTT 2008-2013 dari Partai Golkar. Yang jadi pertanyaan, mampukah Medah memberantas korupsi jika terpilih jadi Gubernur NTT?
Kepada wartawan Demos NTT Online, Efri Ofong, pakar hukum DR. Frans Rengka, SH, MH, mengaku tidak yakin Medah punya kemampuan untuk itu. Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Widya Mandira Kupang yang ditemui di ruang kerjanya, Rabu (3/4) melihat banyak kejanggalan dalam kasus yang menimpa Medah. Berikut petikan wawancaranya”

Bagaimana Anda melihat penanganan kasus korupsi oleh keplisian dan kejaksaan di NTT, terutama sejumlah kasus korupsi di Kabupaten Kupang, misalnya kasus pengadaan kapal ikan, dan kasus jati Amfoang yang sudah sangat lama tapi belum tuntas juga?
Kasus-kasus yang disebutkan itu kebanyakan berhubungan dengan pejabat-pejabat penting atau penguasa. Pada umumnya dalam konteks NTT, hampir dipastikan kasus-kasus yang melibatkan pejabat-pejabat, terutama kasus korupsi itu, selalu mandek di tengah jalan. Artinya, kasus tersebut tidak pernah tuntas. Kalau tidak di tingkat penyidikan kepolisian atau di tingkat kejaksaan, kalaupun sampai di tingkat pengadilan, keputusan nantinya juga bebas.
Memang menarik logika hukum yang dibangun oleh aparat hukum. Seperti SP3 kasus Pak Medah yang katanya tidak cukup bukti. Tetapi bagi saya, pernyataan penyidik yang seperti itu menarik. Kenapa? Karena ketika seseorang dinyatakan sebagai tersangka, itu kan mestinya ada bukti-bukti awal yang cukup kuat yang membuat aparat hukum memasukkan dia dalam kategori tersangka kalau diperiksa. Tetapi yang saya baca dari beberapa media itu kan Pak Medah belum pernah diperiksa. Bagaimana logika hukum? Kan tidak jalan. Bagaimana mungkin seseorang dinyatakan di-SP3 tetapi belum pernah diperiksa? Tidak masuk akal. Iya kan?
Itu khusus kasus Pak Medah. Kalau secara umum saya pikir kasus korupsi yang melibatkan para pejabat itu jarang sekali diselesaikan sampai tuntas. Sebabnya kita perlu cari tahu, tetapi yang muncul di media massa misalnya, pertama, bukti kurang. Apa benar? Kenapa kasus serupa yang menimpa pejabat di tempat lain yang disidik oleh KPK misalnya, kog bisa jalan? Kalau kita mengambil perbandingan itu saja kan aneh. Kalau KPK yang lakukan penyidikan itu bisa gitu. Orang bisa dihukum meskipun dia pejabat. Mengapa di Kupang seperti ini? Saya tidak tahu. Mungkin benar seperti apa yang dikatakan Pak Benny Harman, ”kasus korupsi itu menjadi ladang untuk mendapatkan duit”. Karena mereka punya uang, lalu dicarilah alasan hukum yang kelihatannya logis. Tetapi, itu bisa saja kalau dicari tahu sebenarnya tidak logis juga. Seperti kasus Pak Medah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Itu lebih menarik lagi. Belum pernah diperiksa tapi sudah di-SP3, itu kan ganjil. Coba dilihat kasus ini dulu (kapal ikan-Red).
Kalau untuk orang hukum, lebih ganjil lagi karena, bagaimana anda bisa buat keputusan menyatakan sesuatu tetapi belum pernah diperiksa. Darimana itu? Kesimpulan macam apa itu? Ini melawan hukum logika. Iya kan?
Jangan kan logika hukum, logika biasa pun, masak dia belum diperiksa kog sudah dibuat kesimpulan bahwa dia tidak bersalah. Bukan tidak mungkin kedepan nanti kasus-kasus yang lain nasibnya serupa. Alasan dicari-cari karena itu instrumen yang digunakan oleh aparat hukum, misalkan bukti kurang, bukti tidak memadai, SP3, sehingga tidak bisa diteruskan. Itu memang logis sebagai daftar hukum. Kalau hemat saya, aparat hukum tidak serius dan tidak komit untuk memberantas korupsi. Mengapa? Kita tidak tahu. Ada banyak faktor. Ini perlu kita periksa. Mungkin membutuhkan studi ilmiah yang memakan waktu. Tetapi masyarakat perlu diinformasikan. Kalau begitu, bagaimana kalau pejabat sendiri yang terlibat itu tidak diproses secara hukum itu nantinya bagaimana dengan penegakan kasus korupsi di NTT ini bisa berjalan? Kan sulit.

Siapa sesungguhnya yang bertanggungjawab atas keluarnya keputusan untuk melakukan penebangan dalam kawasan hutan Amfoang?
Kalau dilihat soal tanggungjawab, maka bupati paling atas. Dinas itu kan sebuah instansi yang khusus menangani bidang tertentu. Misalkan, kehutanan. Tetapi kan tetap di bawah koordinasi bupati. Pertanyaannya sederhana, semestinya apakah keputusan kepala dinas itu tidak di bawah koordinasi atau tidak diberitahukan ke bupati? Itu kan tidak mungkin. Nah kalau yang mengeluarkan izin Kepala Dinas maka Bupati tahu. Dan mestinya bupati harus mengecek, apakah keputusan yang dibuat Kepala Dinas itu menyalahi aturan tau tidak? Sehingga tanggungjawab itu tidak bisa dilimpahkan atau diserahkan kepada dinas saja. Kalau putusan itu melanggar aturan, logika birokrasinya kan Bupati mesti turut bertanggungjawab. Sama juga kan dengan kasus kapal ikan. Bupati kan penanggungjawab akhir. Kalau dalam aturan hukum ada penanggungjawab absolut responsibility.
Jadi seorang pejabat yang meskipun tidak melakukannya tetapi karena ini anak buahnya, ia melakukan dan itu ada di bawah domain kerja dia, maka dia juga harus bertanggungjawab. Jadi banyak kali aparat hukum kita yang pandangan hukum mereka terlalu terbatas, sangat terbatas. Sebenarnya dalam hukum itu ada banyak prisip-prinsip hukum yang mungkin mereka belum tahu ataukah mereka pura-pura tidak tahu. Tapi sebenarnya itu ada. Birokrasi itu kan ada controling. Jadi kalau dibuat planning, maka pasti ada pengawasan.

Dalam kasus pengadaan kapal ikan, Bupati Kupang sempat ditetapkan jadi tersangka, tapi diprotes oleh kubu Medah karena bupati Medah belum pernah diperiksa oleh penyidik polisi. Apakah tersangka bisa ditetapkan sebelum dimintai keterangan?
Ya.. itu juga menarik sebenarnya kalau dia belum diperiksa sudah ditetapkan sebagai tersangka. Atas dasar apa sebetulnya penyidik menetapkan seorang Medah itu sebagai terangka? Apakah atas dasar pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang lain? Kalau saksi-saksi lain maka Medah juga mestinya diperiksa atau dikonfirmasi lagi secara silang. Jadi keterangan si A yang menyatakan saya bersalah itu kan harus dicross ke saya juga. Tidak mungkin saya percaya begitu saja. Aneh kan kalau Medah belum diperiksa sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sekalipun ada indikasi kuat dia terlibat atau dia bersalah berdasarkan hak pemeriksaan terhadap beberapa tersangka yang lain yang menyebut nama Pak Medah secara eksplisit. Tetapi kan keterangan-keterangan itu tidak bisa menjadi patokan. Dalam hukum itu sendiri, praktek itu yang parah dan repot. Mereka mengerti seperti apa? Dari hukum itu sendiri kan harus ada rechek kepada yang bersangkutan bahwa sejauhmana Anda terlibat dalam kasus ini dan juga bagaimana tanggungjawab Anda dalam kasus ini.
Nah ini yang saya bilang penyidik kurang cerdas. Jadi memang hukum itu seringkali apa yang tertulis dan apa yang dipraktekkan di lapangan itu ada gap. Gap itu karena aparaturnya tidak cukup memahami istilah yang digunakan dalam hukum. Mereka menggunakan istilah-istilah itu sekedar karena sudah disebutkan oleh ahli hukum jadi mereka juga menggunakannya. Tetapi apa makna dan konsekwensi dari istilah-istilah itu mereka sendiri lupa. Misalnya apa arti dia disebut sebagai tersangka, kan artinya ada bukti-bukti kuat yang cukup sehingga dia bisa dikategorikan sebagai tersangka. Itu yang bagi saya tidak logis. Sudah tersangka, di-SP3-kan, apalagi belum pernah diperiksa.
Ketika mereka menyatakan perkaranya Pak Medah itu di-SP3-kan padahal Pak Medah belum pernah diperiksa. Atas dasar apa itu? Dan hal seperti ini Pak Medah sendiri bisa melakukan tuntutan kepada aparat hukum karena telah mengumumkan kepada publik bahwa saya adalah tersangka. Itu kan sama dengan pencemaran nama baik. Tersangka dalam pidana hukum berat. Kalau sebagai saksi itu masih ringan.

Belakangan status Medah ”dibersihkan” dari kasus kapal ikan dengan dikeluarkan SP3. Menurut Anda apakah ada kekuatan politik yang menggangu proses penyidikan itu?
Saya tidak berani membuat kesimpulan. Tetapi apa yang sementara diperjuangkan oleh asosiasi pengacara ini sebenarnya mau meluruskan kembali apa yang sudah dikerjakan oleh penyidik. Jadi mereka jangan bermain-main dengan hukum. SP3 itu memang sebuah istilah yang lazim dalam penyidikan. Artinya, kalau ternyata dalam penyidikan tidak ditemukan bukti-bukti yang cukup maka orang-orang tersebut tidak perlu diteruskan proses hukumnya. Tetapi saya tidak terlalu yakin, ada banyak hal yang tidak masuk akal. Belum diperiksa sudah ditetapkan sebagai tersangka, belum diperiksa sudah di-SP3. Saya tidak tahu aparat kepolisian ini senang sekali menggunakan istilah-istilah, tetapi apakah mereka sendiri mengerti tidak implikasi hukum. Ini kan merusak citra kepolisian itu sendiri.
Ya... mungkin mereka tidak bermaksud demikian. Apalagi belum ada izin dari presiden, itu tambah rumit dan gawat. Jadi ada banyak prinsip hukum yang dilanggar dengan ketentuan undang-undang yang mengatakan bahwa seorang pejabat yang mau diperiksa harus ada izin dari presiden. Itu juga salah. Bagi kami yang belajar hukum di universitas, itu salah. Bahwa prakteknya ada undang-undang, betul. Ada yang mengatakan bahwa ada aturanya, betul. Tapi aturan itu yang sebenarnya salah. Kan ada asas lain yang mengatakan bahwa semua orang sama didepan hukum. Itu asas.
Bagi saya ada dua hal. Pertama, ada intervensi eksekutif di dalam masalah yudisial itu tidak benar. Saya tidak tahu apakah hal ini anggota legislatif tahu atau tidak. Itu kan ngawur. Masak... urusan peradilan diintervensi oleh presiden. Jadi banyak hal yang perlu dikritik.

Bagaimana Anda melihat kinerja aparat hukum di NTT?
Kalau lihat soal kinerja maka kita harus melihat seberapa banyak kasus yang diproses secara hukum. Kalau itu yang menjadi ukuran maka buruk kinerja aparat hukum. Karena, banyak kasus korupsi yang tidak ada penyelesaianya. Kan tugas polisi seberapa banyak, kusus kasus korupsi yang diproses secara hukum.begitu juga berapa kasus dari jaksa ke pengadilan, kemudian di pengadilan, untuk mengetahui kinerja pengadilan (hakim) seberapa banyak kasus korupsi yang diproses secara hukum? Dan untuk pihak kejaksaan, berapa kasus pidana dalam hal kasus korupsi yang dituntut oleh jaksa di pengadilan. Di NTT inikan, kita bisa hitung, kecil sekali apalagi kasus-kasus yang melibatkan para pejabat. Jadi hal ini sebenarnya aparat hukum sedang mempertontonkan kepada publik, performance yang buruk. Kan itu ukurannya kaku. Kita bisa bicara soal kinerja aparat. Pertama, berapa kasus yang diungkap oleh polisi? Kedua, berapa kasus pidana yang dituntut oleh jaksa. Ketiga, berapa kasus korupsi yang dijatuhkan pidana untuk hakim di pengadilan? Itu baru bagus.

Apakah Anda yakin Medah mampu memberantas KKN di NTT?
Asumsinya begini. Kalau orang itu mulai dengan masalah, maka saya pikir sulit juga. Apalagi masalah yang dituduhkan kepadanya itu adalah masalah yang justru menjadi tugas beliau nanti. Saya tidak terlalu yakin kalau I.A. Medah punya kemampuan untuk memberantas korupsi di tubuhnya sendiri (birokrasi). Kejahatan yang paling parah itu ada dalam birokrasi. Karena mereka menggunakan uang negara. Jadi dari segi ini, saya pikir, ada kandidat lain yang lebih prospektif dari segi ini saja (korupsi).(*)

Tidak ada komentar: