Minggu, 11 April 2010

Gagal Panen dan Kemiskinan di NTT

Oleh Akhmad Bumi

Pos Kupang Jumad, 9 April 2010 menurunkan berita ’NTT Dilanda Bencana Kekeringan’, juga seorang facebooker menulis diberanda ’Kecamatan Ile Ape Kabupaten Lembata gagal panen lagi’. NTT dilanda kekeringan, gagal tanam dan gagal panen yang berakumulasi pada kemiskinan adalah lagu lama. NTT sering diplesetkan ’nanti Tuhan tolong, nasib tak tentu dll’ menggerogoti harga diri, identitas diri bagi kaum nusa flobamora hingga kini.
Kemiskinan kita, ’fakta telanjang secara politik’ serta kontekstual yang nyaris absolut. Ketersediaan sumber daya yang cukup dan adil belum menjelma jadi kekuatan ril bagi yang miskin. Kemiskinan disatu sisi, merupakan situasi yang tercipta dari rezim negara, pada sisi lain, situasi dimana kelompok miskin sendiri tidak menyadari hal ihwal yang melingkupi kehidupannya, karena tidak memiliki akses yang berimbang, dan menerima ’nasib kemiskinan’ itu sebagai takdir atau kutukan para dewa. Lebih dari itu Negara tidak menyadari akan tanggngjawabnya untuk merespon kehidupan warga dengan memenuhi hak-hak dasar warga. Ironis, terkadang kekeringan, gagal tanam, gagal panen dan kemiskinan selalu dieksploitasi untuk kepentingan project jangka pendek bagi yang berkuasa.
Masalah kemiskinan, hampir sama tua dengan usia manusia dan implikasinya meliputi seluruh aspek kehidupan. Walaupun sering tidak disadari kehadirannya oleh warga sebagai masalah. Bagi yang miskin, kemiskinan adalah hal nyata dan ada dalam kehidupan mereka, karena mereka merasakan dan menjalani sendiri bagaimana kehidupan atau hidup dalam keadaan miskin.

Paradigma lama
Teringat akan kita, sekitar 3 (tiga) tahun lalu, tepatnya April 2007, Presiden meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) di Palu, Sulawesi Tengah. Lokasi peluncuran PNPM dipandang cukup strategis, karena Palu berbatasan dengan Poso, salah satu daerah konflik di Indonesia yang menyebabkan banyak orang jatuh miskin selain korban jiwa dan harta. Dampak konflik yang paling hakiki adalah kemiskinan relasional (relational poverty) yang tidak mudah dipulihkan dengan kebijakan berbasis anggaran.
Karena itu, kehadiran Presiden diharapkan dapat membawa efek bola salju yang akan memulihkan relasi berbagai stakeholders yang berselisih. Hal ini seiring dengan teori modal sosial bahwa semakin kokoh kepercayaan (trust) dan norma bila relasi (network) semakin padat dan kuat (Putnam 1995).
Dengan total dana Rp 51 triliun pada 2007, akan tercipta 12,5 juta lapangan kerja sehingga jumlah penduduk miskin pada 2009 akan berkurang 8,2 persen. Demikian proyeksi Menko Kesra saat itu. Ini berarti pemahaman pemerintah terhadap kemiskinan dan strategi pengentasannya belum berubah. Pemerintah masih melihat kemiskinan sebatas defisit, kekurangan. Bahwa orang miskin tidak memiliki pendapatan yang cukup, perumahan yang layak, atau air bersih, pandangan ini mendorong perencanaan pengadaan materi yang tidak ada (belum ada). Asumsi tidak tertulis adalah bila materi yang tidak ada ini telah ada, yang miskin (dianggap) tidak lagi miskin. Pandangan semacam ini tidak salah. Orang miskin membutuhkan materi itu, tetapi pandangan ini tidak menyentuh inti persoalan dan justru melahirkan persoalan baru: mendorong pemerintah memposisikan diri sebagai Sinterklas. Orang miskin dilihat sebagai penerima pasif dan sebagai manusia yang tidak utuh (Chambers 1983). Yang terjadi adalah dehumanisasi orang miskin.
Pandangan kita tentang mereka beralih menjadi pandangan mereka tentang mereka: bahwa mereka adalah manusia yang tidak utuh; bahwa talenta Tuhan hanya diberikan kepada pihak luar tidak untuk mereka; bahwa mereka tidak bisa bangkit tanpa pihak luar.

Kehilangan identitas dan panggilan hidup
Akar persoalan kemiskinan adalah relasi yang rusak sebagai akibat dari cara pandang identitas dan panggilan yang salah. Penduduk miskin cenderung menyerah kepada nasib dan tidak percaya diri. Kalau ada yang kejatuhan durian, ia gampang jatuh dalam godaan menjadi seperti penduduk non-miskin. Mereka menolak identitas mereka yang sesungguhnya. Yang lain menyerahkan diri sebagai hamba; bahwa panggilan hidup mereka adalah untuk melayani penduduk yang tak miskin. Kepercayaan bahwa hanya warga keturunan Tionghoa yang sukses dalam bisnis adalah salah satu contoh rusaknya identitas yang mempengaruhi panggilan hidup. Semestinya kita bisa belajar dari Korea yang mampu membangun ekonomi dengan keyakinan, mereka bisa maju dan mengalahkan Jepang.
Relasi yang rusak dengan Tuhan membuat larut dalam berbagai masalah. Persoalan terkini sering dikaitkan dengan dosa masa lalu, bahkan mereka menyangsikan pengampunan Tuhan sehingga sering kali mereka jatuh ke tangan paranormal yang eksploitatif. Mereka tak melihat diri mereka sebagai manusia ciptaan Tuhan yang sempurna dan tidak berbeda dari manusia lainnya. Sementara itu, relasi yang rusak dengan sesama membuat kelompok tertentu menempatkan diri sebagai musuh kelompok lain. Identitas mereka sebagai makhluk mulia yang berakal budi hancur lebur. Kemuliaan yang ada tidak dipakai untuk kesejahteraan bersama, melainkan untuk kelompok sendiri dan untuk menghancurkan kelompok lain.
 
Gagal panen di Kecamatan Ile Ape - (Lembata)
Lembata (Lomblen) yang terpisah dari Kabupaten Flores Timur tahun 1999, dengan luas wilayah 4.620.375 km2 yang terdiri dari; luas daratan 1.266,38 km2 dan luas lautan 3.353,995 km2, jumlah penduduk sebanyak 106.321 (2006) jiwa yang tersebar di 9 (sembilan) kecamatan dan 130 desa dan 5 kelurahan serta penyebaran kepadatan penduduk sekitar 77 jiwa/km2, tidak lepas dari problem gagal panen dan laporan angka kemiskinan yang selalu meningkat setiap tahun.
Lembata dalam profil memang begitu unik, berasal dari berbagai kelompok yang sudah ada sejak dahulu kala, dengan latar bahasa yang beragam. Masyarakat Kedang misalnya menggunakan bahasa Kedang yang tidak masuk dalam rumpun bahasa Lamaholot, masyarakat Lebatukan menggunakan bahasa Lewo Eleng dan Lamatuka, masyarakat Nubatukan menggunakan bahasa Lewokukung dan bahasa Lewuka’, masyarakat Nagawutun menggunakan bahasa Labalekan dan bahasa Mingar, masyarakat Atadei menggunakan bahasa Lerek, masyarakat Ile Ape menggunakan bahasa Lewotolok sementara mulan dan labala digunakan oleh masyarakat Wulandoni. Dari berbagai latar itu, dihuni oleh mayoritas penduduk miskn sejak dulu kala. Kemiskinan, bukan dosa turunan tapi ini terjadi, karena negara salah urus (mis-management).
Laporan yang terbaca hampir tiap tahun, kemiskinan cenderung meningkat. Sampai dengan tahun 2006 - (2007) masih terdapat jumlah penduduk miskin sebesar 9.286 Kepala Keluarga Miskin (KKM) atau 64.446 jiwa dari 106.321 jumlah penduduk (60,61%) atau 27.246 Kepala Keluarga (KK), angka kematian bayi sekitar 13/1.000, angka kematian ibu sekitar 240/100.000, status gizi buruk sekitar 116 orang atau 1,23% dari jumlah balita yang ditimbang sekitar 9.386 (KUA Kab. Lembata/2007).
Dari angka Kepala Keluarga Miskin tersebut terdapat 2.037 atau sekitar 1,91% adalah perempuan rawan sosial – ekonomi, rentan atau mengalami bencana akan kemiskinan. Hal itu terlihat dari ratio jumlah penduduk usia kerja antara laki-laki dan perempuan dari usia 15 – 64 tahun yang tidak seimbang, antara 100 orang terdapat 86 adalah laki-laki, faktor pendidikan perempuan kurang mendapat perhatian. Perempuan yang berpendidikan SD dan tidak bersekolah sebanyak 59,66% ketimbang laki-laki sebesar 40,34% (Laporan Bupati/2007). Perempuan sebagai second class dalam relasi sosial, politik, ekonomi dan budaya sebagai konteks masalah dalam kehidupan di Kabupaten ini.
Dari 9 (sembilan) kecamatan yang ada, salah satu diantaranya yaitu Kecamatan Ile Ape berikut Kecamatan Ile Ape Timur yang sangat rentan dengan keadaan dimana masyarakat mengalami kondisi sulit dan hampir setiap tahun mengalami gagal panen. Masyarakat Ile Ape dominan bekerja sebagai petani ladang dan sebagian kecil masyarakat yang bekerja sebagai nelayan dengan mengandalkan pengalaman laut yang memanfaatkan peralatan dan kapasitas terbatas. Sebagai petani, masyarakat Ile Ape adalah petani yang berproduksi di atas lahan kritis dan kering dengan curah hujan yang sangat minim dan tidak menentu di bandingkan dengan kecamatan lainnya di kabupaten Lembata.
Menurut Paulus Payong dan Ismail (penuturan 9/Maret) di desa Lamau (Ile Ape dibagian barat laut) mengatakan, Kecamatan Ile Ape umumnya selama setahun hanya mengalami 4 bulan basah dan 8 bulan kering hingga kini dengan hari hujan kurang dari 10 hari per bulan. Sebagian besar lahan ditumbuhi alang-alang dan semak terutama di lokasi bekas perkebunan. Penduduk kecamatan Ile Ape yang adalah ± 13% dari penduduk kabupaten Lembata, yang tiap tahunnya mengalami gagal panen dan 31,25% adalah desa-desa yang dikategorikan sebagai resiko tinggi rawan pangan. Kondisi kritis yang dialami masyarakat umumnya terjadi pada bulan November/Desember – Maret/April tahun berikutnya.
Mereka yang cenderung mengalami kondisi terburuk adalah mereka dengan struktur sosial ekonomi di kelas bawah. Pengungkapan fakta kemiskinan di Kecamatan Ile Ape, wilayah yang menitip Drs.Andreas Duli Manuk menjadi Bupati 2 (dua) periode ini, bukan hanya soal kemiskinan tapi infrastruktur dasar sebagai penopang ekonomi rakyat begitu sangat prihatin. Untuk mengatasi problem gagal panen berikut kemiskinan, tidak hanya mengandalkan pemikiran dan diskusi yang mengedepankan segi emosional dan perasaan yang diselimuti oleh aspek-aspek moral dan kemanusiaan. Tetapi juga yang berkaitan dengan alokasi sumber daya; tenaga terdidik, modal dan peralatan juga struktur sosial ekonomi yang cenderung seakan-akan dilihat terpisahkan (tidak terintegrasi), sehingga pengertian mengenai hakekat kemiskinan dan mengatasinya sendiri menjadi kabur. Akibatnya berbagai usaha penanggulangan masalah kemiskinan menjadi masalah atau tidak menemui sasarannya secara tepat.
Kegagalan dari para pengambil kebijakan, akhirnya melahirkan penderitaan menahun yang oleh Negara kemudian dilakukan respons berupa bantuan beras miskin (label paten bagi yang miskin, karena tidak ada namanya beras orang kaya), uang dalam kondisi KLB maupun agenda bantuan lainnya. Upaya penyaluran beras yang dilakukan oleh pekerja sosial dengan pembagian beras umumnya tidak mencukupi kebutuhan pemenuhan pangan (karbohidrat) atau bukan untuk mengatasi masalah kemiskinan, dari beberapa pengamatan justru cenderung memberikan beberapa indikasi yang perlu ditelusuri seperti cenderung dipelihara sebagai lahan proyek bantuan Negara tahunan dan menciptakan ketergantungan warga pada bantuan.

Respon rakyat
Kemiskinan itu bukanlah satu gejala yang terwujud semata-mata hanya karena sistem ekonomi, tetapi dalam kenyataannya kemiskinan juga adalah perwujudan dari hasil interaksi hampir semua aspek yang dimiliki manusia dalam hidupnya. Aspek sosial, masyarakat dengan struktur sosial yang feodal, yang hidup dalam satuan-satuan sosial yang ada dalam masyarakat cenderung turut mempengaruhi. Bagi mereka yang berstatus sosial kelas bawah umumnya menyerahkan diri untuk patuh dan tunduk secara sukarela, dengan perasaan hati yang menolak dan tak mampu melembagakan diri untuk menyatakan pendapat apalagi melakukan penolakan sebagai basis pertahanan.
Langkah-langkah Negara untuk merespons kondisi ini di Kecamatan Ile Ape dalam memenuhi kebutuhan dasar yang selama ini melanda, tidak semata-mata mengandalkan konsep yang top down tanpa ada kajian yang mendasar dalam memecahkan masalah kemiskinan secara komprehensip. Hal ini perlu diidentifikasi dengan berbagai faktor penyebab kemiskinan, kemudian diakomodir dalam berbagai keputusan politik, untuk pelajaran, perbaikan pendekatan dan upaya memerangi kantong kemiskinan yang diciptakan atau dijerat secara sistematis tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memerangi kemiskinan struktural dan perubahan pola dan methode pendekatan.
Membaca Kecamatan Ile Ape dalam peta geografisnya, dari kedudukan wilayah terbagi kedalam 3 (tiga) bagian : (1) bagian Tanjung, terindikasi 7 desa, dengan jumlah jiwa 5.872 jiwa, (2) bagian Timur dengan 8 desa dengan jumlah penduduk jiwa 5.513; (3) bagian Utara ada 7 desa dengan jumlah penduduk jiwa 4.347 jiwa. Desa-desa itu tergolong gagal panen dan rawan pangan disetiap tahun.
Memperhatikan wilayah ini, banyak orang menyebutkan, wilayah Tanjung merupakan daerah yang sangat rawan atas pangan dan air. Namun kondisi yang distigmakan ini, sebagian persoalan yang dihadapi telah membaik berkenaan dengan ketahanan pangan. Kondisi Tanjung lebih membaik dari kampung di bagian barat laut karena mereka sudah menemukan alternatif akses penguatan kapasitas ketahanan pangan melalui usaha ekonomi lain yakni usaha budi daya rumput laut (sea weed).
Pada desa yang terletak di bagian barat laut, umumnya berada dikaki gunung Ile Ape, wilayah pemukiman dibangun diantara reruntuhan batuan, pada proses geologi –vulkano - dan langsung berbatasan dengan laut dengan kemiringan di atas > 65-70%. Dari wilayah ini, kesulitan ditemukan adalah air bersih untuk minum, ditemukan sejumlah sumur dengan kualitas air minum dengan kadar garam yang tinggi. Umumnya masyarakat bagian barat laut ini adalah petani dengan sedikit keahlian di laut sebagai nelayan setengah jadi.
Catatan dari perjalan penulis di tahun 2006/2007, bacaan terhadap datangnya hari hujan meleset, sehingga yang terjadi adalah hujan pertama di bulan Nopember, masyarakat membuka kebun dan menanam Jagung. Ketika Jagung mulai berbunga dan sekaligus menghasilkan buah, hujan berhenti sejak Januari dan kemarau datang lagi. Selanjutnya ketika bulan Maret, saat kacang-kacangan berbunga dan tidak membutuhkan hujan, ternyata hujan turun dengan lebat selama beberapa waktu. Hal ini berakibat terjadinya gagal panen yang menimbulkan resiko rawan pangan. Belum lagi petani yang diperhadapkan pada kendala lain, seperti, menanam di antara cela-cela batu, dan sebagian diatas tanah dibawah penguasaan orang lain, dan perubahan iklim yang sangat drastis menimbulkan resiko gagal panen. Resiko gagal panen tentunya menimbulkan rawan pangan dan hilangnya bibit untuk musim tanam berikutnya.
Hal ini sangat mewarnai 4 desa bagian Utara, termasuk desa Aulesa. Dengan resiko gagal panen yang dialami oleh masyarakat desa Aulesa dan masyarakat Ile Ape lain dibagian barat laut, pada umumnya yang mengakibatkan ancaman rawan pangan dengan kondisi yang lebih mengharukan, karena menurut hasil perhitungan petani perkiraan petani bahwa hasil panen hanya mampu membantu suplay pangan selama 2 bulan, dengan hitungan rata-rata per orang dibawah 1 – 1 tongkol jagung/hari. Di sisi lain kacang-kacangan yang dibutuhkan sebagai komoditi pasar untuk mendapatkan jagung dan beras ternyata mengalami gagal panen.

Kebijakan Pemerintah
Dari sekian sederetan masalah itu, harus ada ’konsensus politik’, bahwa pengentasan kemiskinan membutuhkan kebijakan pemerintah yang efektif, difokuskan pada masalah tersebut. Di NTT dan Lembata, sejauh ini pengentasan kemiskinan belum berhasil dengan baik karena kebijakan pemerintah tidak efektif. Program propinsi jagung, justru tidak mengorbitkan kedaulatan pada petani, justru membuat kaya adalah para pemodal, ironisnya lagi bibit jagung lokal akan menjadi punah.
Pemberdayaan petani di desa adalah salah satu cara terpenting untuk menanggulangi kemiskinan. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan banyak cara, tapi yang terpenting adalah melalui tata pemerintahan yang dikelola dengan baik. Korupsi menurunkan pertumbuhan ekonomi, akibatnya menghambat upaya penanggulangan kemiskinan. Jadi, tata dan pengelolaan pemerintah yang baik akan dapat menolong menanggulangi kemiskinan melalui perlawanan terhadap korupsi. Korupsi adalah salah satu penyebab kemiskinan.
Disamping itu, korupsi menyebabkan program pemerintah menjadi tidak efektif dan mengurangi kepercayaan warga terhadap pemerintah. Artinya, campur tangan pemerintah untuk memperbaiki keadaan masyarakat miskin dipastikan akan gagal. Selama perdebatan mengenai upaya penurunan kemiskinan berlangsung, pada umumnya, telah mencapai kesepakatan bahwa korupsi mempunyai dampak negatif bagi masyarakat miskin, tetapi apa cara terbaik untuk mengatasi masalah ini?. Kebijakan pemerintah yang responsif dengan hak-hak dasar warga sangat membantu warga di desa yang saat ini dilanda gagal panen yang akan berdampak pada kemiskinan paten dan jangka panjang. Jika rakyat itu masih miskin, maka yang gagal adalah pemerintah (negara). ***

Tidak ada komentar: